Rabu, 18 Januari 2012

kehidupan desa

Ironi kehidupan buruh di tengah perkebunan sawit
16 November 2009
Produksi kelapa sawit mentah Indonesia setiap tahunnya terus meningkat. Pada 2007, Indonesia mencatatkan diri sebagai penghasil minyak sawit mentah (Crude Palm Oil / CPO) terbesar di dunia, dengan total produksi 17,2 juta ton. Dari produksi CPO dunia tahun 2008 sebanyak 42,9 juta ton, Indonesia menyumbang 19,1 juta ton. Jumlah ini mengantarkan Indonesia sebagai negara penghasil CPO terbesar di dunia.
Tak hanya itu, Jumlah ekspor pun Indonesia pun sangatlah tinggi. Dari jumlah total produksi minyak sawit mentah Indonesia, diperkirakan 5 juta ton digunakan untuk konsumsi dalam negeri dan sisanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar internasional dengan tujuan negara importir China (24,6%), India (17,6%) dan benua Eropa (10,6%). Apabila saat ini harga minyak sawit mentah dunia telah menembus angka 1.100 dolar AS/ ton, penghasilan pengusaha sawit dan pendapatan pemerintah lewat pajak dari booming harga CPO tersebut dipastikan akan turut meningkat tajam.
Sayangnya, angka statistik tersebut hanya mencerminkan gambaran secara kasar saja. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa buruh perkebunan kelapa sawit yang menjadi tulang punggung industri ini masih hidup serba kekurangan. Selain itu mereka diliputi berbagai masalah yang menghantui kehidupan mereka sehari-hari.
Fakta ini terungkap berdasarkan studi yang dilakukan oleh Jefri Gideon Saragih dari Sawit Watch pada Buruh PT Tapian Nadenggan, Kutai Timur, Kalimantan Timur pada awal 2008 lalu. Dari studi ini, buruh kelapa sawit masih hidup dengan tingkat kesejahteraan yang minim. Berikut ini beberapa masalah yang umum dihadapi buruh kelapa sawit.
Tingkat upah yang minim
Gaji mandor dengan dua strip per bulannya adalah sebesar Rp. 970.000 per bulan. Gaji ini dipergunakan untuk menghidupi istri dengan tiga anak. Tak hanya itu, berdasarkan pengakuan seorang buruh perempuan, ketika mereka tidak masuk bekerja, upah mereka dipotong. “gaji untuk satu bulan sebesar Rp. 810.000 tidak pernah saya terima total. Saya selama bekerja hanya mendapatkan Rp. 600.000. Ini dikarenakan kami dihitung tidak masuk bekerja walaupun sudah mengajukan ijin,” tutur seorang buruh berusia 37 tahun.
Asuransi kesehatan yang tidak pernah dijamin
Jika seorang buruh sakit, perusahaan tidak akan menanggung biaya pengobatan. Seorang buruh menuturkan bahwa dia pernah sakit selama 2 bulan dan semua biaya ditanggung sendiri. Selama sakit, perusahaan tidak memperhatikan keadaannya sama sekali.
Keselamatan kerja
Pihak perusahaan juga tidak menyediakan perlengkapan bagi para buruh semprot seperti sarung tangan, masker, baju plastik dan sepatu boot. Salah seorang buruh menuturkan pernah mengalami keracunan saat menyemprot. Selain keracunan, buruh lainnya pun pernah mengalami kecelakaan berupa tertimpa kayu hingga pingsan. Dalam kasus ini, perusahaan tidak memberikan sama sekali biaya pengobatan selama berada di rumah sakit.
Buruh anak
Menurut pengakuan salah seorang mantan buruh, perusahaan mempekerjakan buruh berusia sekitar 15 tahun. Jumlah ini adalah jumlah yang dominan. Tugas mereka sama dengan orang dewasa yakni membersihkan anak-anak kayu. Dari segi upah dan jam kerja pun sama, berangkat dan pulang berbarengan dengan yang dewasa.
Ancaman saat bekerja
Selama bekerja, para buruh kerap mendapat ancaman bila tidak bekerja dengan produktif. Mereka menuturkan bahwa ancaman berupa pemecatan dan membanding-bandingkan kinerja dengan suku lain. Konsekuensi dari hal ini, mereka sangat takut bila tidak masuk bekerja karena khawatir akan dipecat atau digantikan oleh orang lain. (RR)
Sumber: Dokumentasi sawit watch, “Investigasi terhadap Buruh PT Tapian Nadenggan, Kutai Timur Kalimantan Timur”, Jefri Gideon Saragih, 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar